Bagi seorang wanita normal, keluarga dan anak-anak
adalah harapan dan cita-cita. Keluarga adalah tempat mengabdi yang membawa
ketenangan. Anak-anak adalah amanah yang membawa kebahagiaan. Sangat wajar, jika
setiap wanita menginginkan adanya fase menikah dalam hidupnya. Tapi masalahnya,
menikah tidak bisa dilaksanakan secara sepihak. Menikah membutuhkan pasangan,
yang dalam situasi, kondisi dan masa tertentu tidak mudah ditemukan. Karena
kriteria yang tak sepadan, karena kuantitas yang tak terpenuhi, maupun karena
takdir belum menentukan. Seperti pada masa sekarang, saat wanita lajang di usia
matang hampir menjadi fenomena.
Lantas bagaimana?
Bersabar, menunggu dan bertakwa kepada keputusan Allah. Itu yang banyak saya dengar, dan saya sepakati pula. Hal ini barangkali hikmah diperbolehkannya poligami oleh kaum pria, dan mungkin sudah tiba masanya. Ini pendapat lain, yang saya juga tidak menolaknya. Namun, apakah hanya itu? Saya kira masih ada alternatif lain, yang lebih progresif bukan pasif dan bisa dilakukan secara mandiri oleh seorang wanita. Saya teringat sebuah kisah tentang seorang muslimah perkasa di punggung Gunung Kidul. Wanita itu sangat aktif utamanya dalam kegiatan dakwah dan sosial.
Lantas bagaimana?
Bersabar, menunggu dan bertakwa kepada keputusan Allah. Itu yang banyak saya dengar, dan saya sepakati pula. Hal ini barangkali hikmah diperbolehkannya poligami oleh kaum pria, dan mungkin sudah tiba masanya. Ini pendapat lain, yang saya juga tidak menolaknya. Namun, apakah hanya itu? Saya kira masih ada alternatif lain, yang lebih progresif bukan pasif dan bisa dilakukan secara mandiri oleh seorang wanita. Saya teringat sebuah kisah tentang seorang muslimah perkasa di punggung Gunung Kidul. Wanita itu sangat aktif utamanya dalam kegiatan dakwah dan sosial.
Dengan sepeda motornya ia menjelajahi pelosok
desa, mengisi kajian dan memberikan penyuluhan di kampung-kampung miskin dan
desa-desa terpencil. Ia menjadi panutan, ia menjadi konsultan, ia menjadi acuan,
ia menjadi tempat orang-orang lugu itu meminta nasihat.
Muslimah itu, masih lajang dalam usianya yang 35
tahun. Muslimah itu, mengasuh tiga anak yatim dengan kemampuannya sendiri.
Muslimah itu, tidak kesepian karena ia punya ‘keluarga’. Wanita itu tak
kehilangan fitrah kewanitaannya karena ia punya ‘anak-anak’ tempat ia
mencurahkan cinta dan perhatian. Muslimah itu tidak digugat kesendiriannya
karena ia menebar manfaat.
Membaca kisahnya, banyak inspirasi yang bisa
diambil oleh kaum wanita, dan saya pun ingin meneladaninya. Apa yang dilakukan
muslimah tersebut bisa menjadi salah satu alternatif jawaban atas problema
banyaknya wanita-muslimah khususnya- berusia matang yang belum menikah. Apa yang
dilakukan si muslimah perkasa, memberikan hikmah yang banyak bagi kemanusiaan.
Jika kita renungan, menjadi lajang bukanlah sebuah aib dan dukacita. Menjadi lajang membuka pintu-pintu amal dan manfaat bagi diri dan masyarakat, seperti halnya yang dilakukan si muslimah.
Jika kita renungan, menjadi lajang bukanlah sebuah aib dan dukacita. Menjadi lajang membuka pintu-pintu amal dan manfaat bagi diri dan masyarakat, seperti halnya yang dilakukan si muslimah.
Seorang wanita lajang akan lebih mudah bergerak
dan beraktifitas karena ia tak dibebani tugas-tugas kerumahtanggaan. Seorang
wanita lajang akan bisa lebih banyak berbakti kepada masyarakat dengan modal
waktu, peluang dan kemampuan yang ia miliki. Berapa banyak selama ini aktifitas
sosial masyarakat yang mandeg karena ditinggal penghasungnya (yang seorang
wanita) menikah? Berapa banyak aktifitas yang masih terus berkembang karena
penyandangnya ‘alhamdulillah’ masih lajang dan punya waktu banyak untuk
berkomitmen?
Lantas bagaimana memenuhi kebutuhan fitrah sebagai
wanita? Bukankah pintu tebuka lebar juga? Lihat, betapa banyak anak-anak di
dunia ini yang butuh asuhan, pendidikan dan usapan tangan lembut kaum wanita?
Apalagi di Jakarta yang sedemikian tua dan menyimpan banyak problema terutama
berkaitan dengan anak jalanan, anak miskin, anak yatim dan anak-anak yang kurang
dalam pendidikan dan asuhan.
Dalam kesendirian dan kemandirian kaum wanita,
barangkali Allah memang mengirimkan mereka untuk anak-anak tak mampu, untuk
dididik, untuk diasuh. Mereka adalah anak-anak kita juga, begitu Emha Ainun
Najib pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya di buku Markesot Bertutur.
Anak-anak sesungguhnya adalah anak-anak dunia, amanah dari Allah yang mesti
dijaga. Sekalipun mereka tidak lahir dari rahim kita.
Saya percaya, selalu ada hikmah di balik setiap
realitas yang ditetapkan Allah. Banyaknya wanita lajang pada masa sekarang,
mungkin karena Allah menginginkan adanya tangan–tangan terampil, pribadi-pribadi
lembut namun perkasa untuk menanggung sebagian beban dunia. Tugas itu
diantaranya adalah mengasuh anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak
tetangga yang kurang perhatian dan kurang pendidikan moral. Tugas itu
diantaranya adalah ikut membenahi kerusakan sosial, kemiskinan, buruknya
pendidikan dan aktifitas publik lainnya yang membutuhkan komitmen waktu,
kemampuan dan kemandirian seorang wanita.
Mereka butuh kita, para wanita lajang yang
mandiri, yang sanggup menafkahi diri sendiri dan orang lain. Yang memiliki
perhatian dan kemauan lebih untuk all out terhadap aktifitas yang mungkin tidak
bisa dilakukan oleh para wanita yang sudah berumahtangga. Kita bisa tetap
memiliki keluarga, meski bukan karena pernikahan. Kita dapat memiliki makna,
meski bukan dengan car menjadi ibu rumah tangga. Kita mampu bisa menjadi manusia
seutuhnya melalui usaha kita sendiri, tanpa harus meminta pengertian semua
orang, tanpa perlu menuntut dan meminta para lelaki untuk menikahi dan
berpoligami. Sekarang tinggal kita tinggal memilih: Mengadopsi anak dari panti
asuhan, anak jalanan, anak tetangga? Atau ikut berpartisipasi menjadi orang tua
asuh, mendidik anak jalanan, anak-anak TPA, anak tetangga, keponakan, mendirikan
taman bacaan? Atau bahkan ‘hanya’ sesedikit apapun, berkontribusi terhadap
komunitas dan masyarakat. Mereka adalah juga ‘keluarga’ kita. (azi_75@yahoo.com,
tulisan ini sama sekali bukan mendorong kaum wanita untuk melajang).
0 komentar:
Posting Komentar