Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam- seringkali
berlindung kepada Allah dan mohon dijauhkan dari rasa sedih dan susah. Beliau
sering berdo’a :
اللَهُمَّ
إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالحُزْنِ, وَمِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ,
وَمِنَ الجُبْنِ وَالبُخْلِ
"Wahai Allah, aku
mohon lindung kepada-Mu dari rasa sedih dan susah, dari rasa lemah dan malas,
dan dari sifat pengecut dan kikir"
Manusia hidup di dunia memang pasti merasa sedih dan
susah, sebab sifat ini menjadi naluri manusia itu sendiri. Oleh karena ini,
topik pembicaraan kita saat ini adalah tentang kesedihan secara umum, dan
bagaimana Islam mengobatinya.
Setiap orang di dalam hidupnya pasti mengalami ujian dan cobaan. Manusia
tetap manusia. Suatu ketika pasti diuji dan dicoba oleh Allah. Sebab memang
demikianlah manusia diciptakan, sebagaimana firman Allah : “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang
Kami hendak mengujinya , karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”.
(QS. Al-Insaan : 2). Allah -Subhanahu wa ta'ala- juga berfirman : “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”. (QS. Al-Balad
: 4). Maksudnya, dia berada di dalam bersusah payah sejak dia dilahirkan.
Sejak lahir manusia sudah keluar menangis. Ini pertanda
bahwa di dalam hidupnya dia harus menjawab segala macam ujian. Tidak semua
yang diharapkan pasti diprolehnya. Di dalam kehidupan ini banyak hal-hal yang
datangnya secara spontanitas. Tidak terduga sebelumnya, terkadang kehilangan
orang yang dihormati dan dicintai. Terkadang kehilangan harta, keluarga,
bahkan harus meninggalkan tanah air. Tabiat kehidupan di dunia sama pula
dengan tabiat manusia itu sendiri yang serba penuh ujian dan kesedihan. Allah
befirman di dalam Al-Qur’an : “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.(Al-Baqarah
:155).
Kalau manusia pada umumnya pasti mendapatkan ujian, betapa pula orang mu’min
yang pasti lebih besar pula dia untuk mendapatkan ujian. Sebab itu Rasulullah
-Shalallahu alaihi wasalam- menegaskan di dalam haditsnya :
أَشَدُّ
النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ. يُبْتَلَى
الرَّجُلُ عَلَى قَدَرٍ دِيْنِهِ. فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صَلْبًا اشتَدَّ
بَلاَءً. وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِِ رِقَّةٌ –يَعْنِي ضَعْفٌ- ابْتَلِي عَلَى
قَدَرٍ دِيْنِهِ. وَمَايَزَالُ البَلاَءُ يَنْزِلُ بِالعَبْدِ حَتَّى يَمْشِيَ
عَلَى الأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ خِطِيْئَةٌ.
"Manusia yang paling
hebat cobaannya adalah para nabi. Kemudian yang paling sepadan, dan
seterusnya dan seterusnya. Seseorang dicoba sesuai kadar agamanya. Jika
agamanya kuat, hebatlah cobaannya. Jika dalam agamanya lemah, dia dcoba
sesuai ukuran agamanya. Cobaan selalu saja menimpa seorang hamba, sehingga
dia berjalan di atas bumi tanpa menanggung sebuah dosapun."
Dari sinilah, Al-Qur’an yang diturunkan di Makkah, ketika
orang-orang beriman menderita dengan berbagai macam cobaan dan penyiksaan
kaum kafir ketika itu, maka diturunkanlah awal-awal surat Al-‘Ankabut yang berbunyi : “Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan
: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”. (QS.
Al-‘Ankabut :2). Adakah di sana
iman tanpa cobaan dan ujian?! .” Dan sesungguhnya kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar. Dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang
dusta”.(QS. Al-‘Ankabut : 3). Begitulah di masa periode perjuangan Islam
di Makkah. Adapun di Madinah, setelah umat Islam tinggal di sana dan mereka mengira selamat dari ujian
dan cobaan, ternyata datang pula berbagai macam ujian yang bertubi-tubi.
Datanglah perang Uhud, datang pula ujian perang Khandaq. Allah befirman : “Disitulah
diuji orang-orang mu’min dan digoncangkan dengan goncangan yang
sangat”. (QS. Al-Ahzaab : 11) Maka turunlah ayat : “Apakah kamu mengira
bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu sebagaimana
halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya : "Bilakah datangnya pertolongan
Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”.(QS.
Al-Baqarah : 214). Mereka menunggu pertolongan Allah, dan merasa terlambat
datangnya sehingga bertanya-tanya : “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”.
Akhirnya Allah menegaskan : “Ingatlah! Sesungguhnya pertolongan Allah itu
amat dekat!”. Kalau kita memperhatikan kehidupan para nabi, maka yang
dapat kita ketahui adalah sarat dengan berbagai macam ujian dan cobaan yang
beruntun. Coba perhatikan kehidupan Nabiyullah Yusuf -Alaihissalam-. Di dalamnya
sarat dengan peristiwa-peristiwa berdarah yang bertubi-tubi. Peristiwa demi
peristiwa. Pertama kali saudara-saudara seayahnya sepakat untuk membunuhnya.
Kata mereka : “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah
supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah
kamu menjadi orang-orang yang baik".(QS. Yusuf :9). Di antara
mereka yang paling mempunyai rasa kasih sayang berkata : "Janganlah
kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut
oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.". (QS. Yusuf
: 10). Lalu mereka melemparkan Yusuf ke dalam jurang itu seperti halnya
mereka melemparkan batu. Kemudian cobaan berikutnya Nabi Allah yang mulia ini
dijual seperti halnya mereka menjual kambing. Allah berfirman : “Dan
mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan
mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf “. (QS. Yusuf : 20).
Cobaan berikutnya Yusuf menjadi pelayan, seperti halnya kaum sahaya. Cobaan
berikutnya, Yusuf dipenjara seperti halnya kaum penjahat, sehingga tinggal di
penjara beberapa tahun lamanya. Ada
pula cobaan berat, yaitu ujian digodanya isteri pembesar negeri itu.
Begitulah rentetan ujian yang menimpa Nabiyullah Yusuf –Alaihissalam-.
Coba lagi kita menengok ujian yang menimpa Nabiyullah Musa –Alaihissalam-.
Sejak dilahirkan beliau sudah harus menjawab ujian. Pada waktu itu dia telah
siap untuk disembelih oleh Fir’aun. Kemudian Allah ilhamkan kepada ibunya
agar ia menjatuhkannya ke sungai. Allah berfirman : “Dan janganlah kamu
khawatir dan janganlah bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya dari para rasul” (QS.
Al-Qashash :7). Maka kehidupan Musa -Alaihissalam- penuh dengan hal-hal yang
menyedihkan. Demikianlah kehidupan para nabi, sehingga orang mu’min tidak
sepantasnya menunggu kehidupan yang selamat dari setiap kesedihan dan
kesusahan. Hidup serba selamat dari kesedihan dan kesusahan bukan tabiat
kehidupan dunia., melainkan tabiaat kehidupan di surga, sedang di dunia belum
ada surga. Sebab itu, hendaklah orang mu’min bersabar menahan diri di dalam
menerima segala beban hidup di dunia ini. Allah berfirman : “Jika kamu
bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan
yang patut diutamakan”. (QS. Ali ‘Imran :186)
Ujian, susah dan sedih adalah aturan-aturan rabbani yang pasti terjadi kepada
setiap orang. Dan setiap orang akan teruji sesuai ukuran imannya.
Kesedihan dan kesusahan akan menimpa manusia atas beberapa faktor. Baik
internal ataupun eksternal. Paling berbahaya adalah factor internal, akibat
penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh kemajuan dunia kapitalis barat,
sehingga menimbulkan keresahan dan kesedihan mendalam bahkan putus asa yang
terkadang membuat orang bunuh diri. Terbukti hal ini di Negara Swedia, sebuah
negara barat yang terkenal paling sering terjadi orang bunuh diri, walaupun
Negara tersebut adalah Negara paling mewah dan tingkat ekonominya paling
tinggi. Bahkan di sana
terkenal dengan jaminan kesejahteraan sosial bagi kaum lansia, tuna karya,
kaum anak dan ibu. Namun demikian, masih saja bertindak dengan tindakan yang
paling rendah, yaitu pergi dan bunuh diri apabila dirudung kesedihan, patah
hati atau jatuh failid.Berbeda dengan kita umat Islam yang dilindungi oleh
iman. Semoga Allah senantiasa melindungi kita.
Manusia sedih berdasarkan tingkat berfikirnya. Susahnya orang kecil tidak
seperti susahnya orang besar. Karena itu, kesedihan itu kembalinya kepada
faktor-faktor tertentu. Kesedihan dapat menimpa kepada segala lapisan orang,
baik dia orang biasa, orang lemah keperibadian atau orang kuat dan sehat.
Tapi pada hakekatnya, ketika seseorang dihadapkan kepada ujian, pasti dia
berfikir bagaimana cara menanggulanginya. Mampukan dia atau tidak. Biasanya,
kalau tidak mampu dia menjadi resah dan sedih. Kesedihan inilah yang terkadang
membuat dia terlempar jauh dari agama, serta tidak tahu bagaimana bertawakkal
kepada Allah.
*Majalah Qiblati Vol I Edisi 1
Disalin dari http://www.al-islam.agussuwasono.com/artikel/tazkiyatun-nufus/89-hati-sedih-dan-pengobatannya-menurut-islam.html
|
0 komentar:
Posting Komentar